Di Afganistan misalnya, selama 30 tahun periode konflik yang terjadi mayoritas keluarga disana kehilangan setidaknya satu anggota keluarga dimana hampir separuh penduduk berusia di atas 15 tahun di Afganistan menderita gangguan mental seperti depresi, kecemasan, atau stres pasca trauma. Hal tersebut semakin diperparah dengan data dan fakta bahwa hampir separuh populasi dunia tinggal di negara dimana 1 (satu) orang psikiater melayani 200.000 jiwa. WHO mengungkapkan negara miskin hanya memiliki kurang dari satu orang dokter spesialis jiwa per satu juta penduduk.
Di negara-negara benua Afrika seperti Nigeria, seperempat dari jumlah pasien di pusat layanan kesehatan diperkirakan memiliki gejala depresi. Namun sangat disayangkan hanya satu dari enam pasien yang terdiagnosa tersebut mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai. Sementara itu di Ghana, pasien di klinik kesehatan mental dibiarkan kelaparan dan telanjang.
Melihat kenyataan tersebut, pada Mei 2012, dalam pertemuan para menteri kesehatan sedunia telah disepakati pentingnya resolusi kesehatan mental dan membuat komitmen baru dalam rangka meningkatkan pemahaman akan isu kesehatan mental, pentingnya meningkatkan standar pelayanan di seluruh dunia, serta perlunya gerakan global untuk menghadapi penyakit gangguan mental.
Dalam Hari Kesehatan Jiwa Sedunia ke-20 yang bertema Depresi: Suatu Krisis Global, disadari bahwa penanganan depresi dan kesehatan jiwa pada umumnya belum menjadi sebuah gerakan. Padahal disadari atau tidak gangguan depresi dapat menjadi pemicu timbulnya berbagai gangguan fisik diantaranya gangguan kekebalan tubuh, penggumpalan darah, sehingga penderita mudah sakit, mulai dari flu, kanker, hingga serangan jantung dan stroke.
Gangguan Jiwa di Indonesia
Persoalan gangguan kesehatan jiwa sesungguhnya masalah yang sangat penting dan wajib mendapatkan perhatian serius dari negara, dalam hal ini pemerintah dari pusat hingga daerah, dan tentunya dari seluruh lapisan masyarakat. Mengapa? Tahun 2013 berdasarkan hasil Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) disebutkan beban penyakit atau burden of disease penyakit jiwa di Indonesia masih cukup besar. Prevelensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang, sementara itu prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Lebih lanjut ternyata 14,3% di antaranya atau sebanyak 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Dimana angka pemasungan di pedesaan adalah sebesar 18,2%, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka pemasungan di perkotaan, yaitu 10,7%. Sungguh memprihatinkan.
Komitmen pemerintah untuk menyelesaikan sekelumit persoalan kesehatan jiwa di Indonesia terlihat pada diterbitkannya Undang-undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa pada 8 Agustus 2014. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa tersebut terbit untuk menjamin setiap orang agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya-upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Secara garis besar, Undang-undang Nomor 18 tahun 2014 mengamanatkan tentang:
- Perlunya peran serta masyarakat dalam melindungi dan memberdayakan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dalam bentuk bantuan berupa: tenaga, dana, fasilitas, pengobatan bagi ODGJ;
- Perlindungan terhadap tindakan kekerasan, menciptakan lingkungan yang kondusif, memberikan pelatihan keterampilan; dan
- Mengawasi penyelenggaran pelayanan di fasilitas yang melayani ODGJ.
TERIMA KASIH ANDA SUDAH MEMBACA ARTIKEL BERJUDUL :